Bagi orang Farisi, hubungan mereka dengan Allah berdasarkan pada kontrak agamawi yang berisi apa yang harus “dilakukan” dan “jangan dilakukan”; dan hal itu juga terjadi pada banyak orang saat ini.
Sebuah
kontrak adalah tentang dua atau beberapa pihak yang membuat kesepakatan dimana
mereka mengikatkan diri untuk menjalani kewajiban-kewajiban tertentu. Sebuah
kontrak sama sekali tidak berhubungan dengan kasih ataupun kepercayaan, akan
tetapi malah menunjuk pada yang sebaliknya: menuntut serta memiliki
kemungkinan-kemungkinan untuk membawa pihak lain ke pengadilan. Orang-orang Farisi bangga karena mereka kelihatannya mampu untuk mentaati kontrak agamawi lebih baik dibanding bangsa-bangsa disekitar mereka. Kehidupan mereka diisi dengan mencapai prestasi kerohanian dan sukacita mereka berada dalam fakta bahwa mereka lebih baik dalam melakukan hal itu dibanding orang lain. Mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan “orang-orang berdosa dan para pemungut cukai.” Seperti itulah yang terjadi dalam semua agama.
Lukas 15 menyatakan tentang perjanjian kasih: kasih Allah diberikan kepada kita dengan cuma-cuma dan tanpa bayaran .
Kontrak agamawi menjadi cermin dimana kita melihat diri kita dan juga orang lain. Dalam kisah tentang orang Farisi yang berdoa di bagian depan bait suci, kita dapat membaca bahwa dia berdoa “didalam dirinya sendiri.” Bahkan kehidupan doanya telah menjadi semacam pertunjukan; sebuah cermin dimana dia menunjukkan kemampuan pribadinya dan membandingkan dengan mereka yang “kurang” kudus.
Lukas 15 menyatakan tentang perjanjian kasih: kasih Allah diberikan kepada kita dengan cuma-cuma dan tanpa bayaran. Allah adalah Allah dari perjanjian dan perjanjian-Nya selalu dihubungkan dengan orang-orang seperti Abraham, Ishak dan Yakub – orang-orang yang lemah dan bersalah yang diundang masuk kedalam perjanjian kasih Allah. Dalam Kristus kita menjadi anak-anak Abraham, disambut dengan penuh kasih masuk dalam sukacita kasih.
No comments:
Post a Comment